Hidup PERSIB !!!
Dalam forum dunia maya, seringkali saya menemukan budak de-a (panggilan untuk santri pesantren di Darul Arqam Garut) yang fanatik dengan PERSIB. Di dunia nyata, saya pun seringkali menemukannya. Anda dan siapapun juga yang berkunjung ke stadion dan rajin melirik kiri-kanan sesekali akan menemukan anak de-a yang anda kenal. Insya Allah, hehe..
Entah kenapa dan sejak kapan hal itu dimulai, saya sendiri belum dapat menyimpulkannya. Tentu terdapat beragam alasan yang bisa menjelaskan kenapa anak de-a seperti ini. Namun yang menarik, sejak kapan fanatisme terhadap PERSIB berkumandang dan fanatisme tersebut “menjadi bernilai” di mata anak de-a? Nonton ke stadion dan ngabelaan bolos tikelas merupakan dua tolak ukur fanatisme yang saya kira bisa disepakati ketika itu. “Menjadi bernilai” disini saya definisikan sebagai identitas yang membedakan santri de-a yang satu dengan yang lainnya yang sama-sama fanatik PERSIB.
Berikut saya coba paparkan sedikit analisis sesuai data yang saya dapatkan.
Fanatisme budak de-a terhadap PERSIB sudah ada semenjak saya masih berstatus santri de-a. Rahman “Oray” Yusuf (angkatan 21 Putra, SALIKUR) dan Helmy (angkatan 19 Putra, BSW), saya sendiri merupakan santri angkatan 24 Putra, merupakan dua orang yang saya kenal memiliki fanatisme pada PERSIB. Bahkan pernah 1 kali saya bersama teman-teman angkatan 24 Putra lainnya nonton bareng ke Siliwangi bersama Rahman “Oray” Yusuf. Tidak menutup kemungkinan sebelum angkatan 19 telah ada budak de-a yang memiliki fanatisme seperti ini. Tinggal dicari dan dilengkapi datanya bagi yang mau meneliti. Sebagai catatan, nonton disini kabur dari de-a dengan berbagai cara. Setidaknya luncat ti pager mesjid dan mengelabui satpam jadi dua cara yang efektif menurut saya. Bukan nonton ketika libur, karena hal seperti itu dapat dilakukan siapapun.
“Menjadi bernilai”, menjadi sesuatu yang saya kira sulit untuk disepakati. Setidaknya “menjadi bernilai” disini saya sedikit reduksi menjadi nga-hit (menjadi populer, bahkan terkesan sengaja mencari popularitas), tidak lagi menjadi sebuah identitas yang melekat pada individu. Karena seperti itulah peta yang kemudian saya lihat di kemudian hari. Awalnya, “menjadi bernilai” merupakan sebuah identitas yang membanggakan buat diri sendiri (semacam menjadi identitas di tengah pencarian eksistensi remaja), meskipun banyak dicemooh orang lain. Hingga saatnya tiba . . . . . . Dan begini cerita itu dimulai . . .
Kang Irfan Amalee (santri angkatan 13 Putra, kakak kelas saya yang juga penggemar PERSIB) suatu hari membuat film dokumenter tentang santri de-a yang bolos sekolah demi nonton PERSIB di Jogja dengan judul “Biru Darahku”. Film dokumenter ini sempat ditayangkan saat launching pemain PERSIB beberapa tahun ke belakang di Bandung (kalau tidak salah saat zamannya Beckamenga dan Barkawi). Kang Irfan Amalee dan pemain film sekaligus “pelaku sejarah” diundang khusus pada acara itu. Film dokumenter tersebut terinspirasi dari tulisan Fakhri Abdul Rosyid (angkatan 25 Putra, SALAWE) yang lebih menginginkan jadi pemain, ofisial atau apapun yang berhubungan dengan PERSIB.
Sebelumnya, pada Bulan Ramadhan tahun 2006 M (kalau tidak salah) PR IRM (semacam OSIS di SMA Umum) Darul Arqam Putra & Putri angkatan 25 Putra dan 13 Putri mengadakan Program GERAM (Gema Ramadhan). Salah satu rangkaian acaranya ialah bedah buku dan diskusi buku Kang Irfan Amalee yang berjudul “Boleh Donk Salah”. Tanpa diduga dan disangka, Saya, Hilmy Yahya Ziaulhaq dan Roby Nugraha (sebenarnya ada seorang lagi pelaku sejarah, Muhammad Rizal, namun setahun lebih dulu meninggalkan kami di de-a dengan alasan yang saya juga kurang tau =)) diundang oleh IRM dan Kang Irfan Amalee untuk menjadi pembicara. Undangan kami terima via telpon. Kami pun terheran-heran dan bingung atas permintaan panitia, karena kami sebagai pelaku sejarah malu dan akan diperbincangkan lagi seantero de-a. Setidaknya ketika kami berempat di skorsing selama satu minggu karena ketahuan nonton PERSIB, kami menjadi buah bibir di setiap kelas, baik Putra maupun Putri. Belum lagi posisi kami yang ketika itu sedang melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan) di daerah Peundeuy dan Singajaya (jauh dari pesantren kami, setidaknya butuh waktu tiga jam).
Akhirmya kami bertiga berdiskusi via telpon dan menyepakati untuk menerima tawaran tersebut. Pertimbangan kami ialah dorongan Kang Irfan Amalee untuk merubah paradigma ustadz dan santi de-a saat itu. “Berawal dari kesalahan meuju kebenaran”. Setidaknya itu secuil kalimat kang Irfan Amalee yang mendorong kami hadir. Kemudian kami pun melobi Pembimbing PKL kami (Pak Amad Hidayat dan Ruhan Latief) untuk mendapatkan izin dan menghadiri undangan tersebut. Setelah semua ok, kami pun menunggu waktu yang telah ditentukan panitia.
Dimulai dengan pemutaran film dokumenter “Biru Darahku” yang berdurasi kurang lebih selama 15 menit, kami pun (Saya dan Hilmy, karena Roby tidak jadi ikut) jadi pembicara beserta kang Irfan. Moderator (Mazia) menanyakan beberapa hal terkait perilaku “abnormal” kami selaku santri. Tentu kami pun menjawab apa adanya tanpa ada yang disembunyikan. Sontak muka-muka “haseum” dari kalangan ustadz melirik kami, untungnya pembelaan kang Irfan meneguhkan hati kami dalam forum tersebut.
Setelah forum itu, nama kami makin banyak diperbincangkan di Putra. Juga di Putri, sesuai informasi yang kami dapatkan dari teman seangkatan namun berbeda kelamin tersebut. Dari sana sampai sekarang saya melihat PERSIB diperlakukan untuk menjadi ajang nga-hit. Padahal pada mulanya kami menonton karena hanya sekedar hobi, fanatisme dan tanpa terpikir bakal menjadi selebritas pondok. Tak pernah terlintas juga bahwa kami akan sedemikian nga-hitnya ketika itu. “Menjadi bernilai” pada mulanya, nga-hit pada akhirnya.
Demikian sepenggal kisah untuk berbagi dengan bobotoh lain yang memiliki pengalaman berbeda dan unik. Film dokumenter tersebut bisa di search di internet. Santri juga cinta PERSIB, dan selalu mendoakan supaya persib juara.
Salam,
Pipit Aidul Fitriyana (Ikadam 24 Putra)
Bobotoh Viking UIN Jakarta