Ditulis oleh: Nenden Nour, Angkatan 1 Putri (1990-1996)
Ada satu waktu. Ketika kanak-kanak memulai mimpi.
Mereka berseragam hitam putih
Berlarian tanpa alas kaki
Mengisi tiap ruang dalam hati
Menyalakan harap dan merangkai hari
Di sebuah kota yang penuh cahaya dan keindahan, matahari selalu terbit lebih dulu. Kaki yang kaku terbalut cuaca dingin, memaksaku menulis satu demi satu ingatan. Kota itu adalah Garut, dan ingatan itu adalah Darul Arqam.
Dini hari sebelum shubuh menjelang, suara Tahrim dari masjid serupa pertemuan pertama dengan ingatan. Terbangun dengan mimpi yang setengahnya masih berada di kepala, melipat selimut, dan bergegas mengambil gayung berisi sikat gigi dan sabun, berharap mendapat antrian pertama di kamar mandi.
Lalu setelah berjajar rapi di mushola dan menumpuk doa pada Tuhan lewat shalat Shubuh, ada ruang kelas yang siap menunggu. Matematika, Bahasa Arab, Nahwu Shorof, Imla dan I’rob, serupa mimpi buruk yang siap memanjangkan waktu lebih dari 24jam. Sepagi itu berkutat dengan buku dengan mata perih setengah mengantuk. Tapi hari-hari setelahnya aku mulai akrab dengan dinginnya cuaca Garut, suara angin yang gemetar, antrian di kamar mandi, riuh ke-62 orang kawan-kawanku, sarapan capruk, dan libur di hari Jum’at. Meski kemudian, setelah lebih dari 2190 hari, segala keindahan dan kenangan itu telah mematahkan hatiku saat aku pergi. Aku jatuh cinta pada tempat ini. Aku bahkan memiliki ingatan di tiap sudutnya, ruang kelas, dapur, asrama, kantor, mushola, bahkan pada daun-daun kering dibelakang asrama yang selalu basah oleh embun selepas shubuh.
Akan selalu kurindukan menatap langit di pagi saat matahari baru terbit, menikmati nyanyian sekawanan burung yang terbang rendah mengawali hari. Akan selalu kuingat kabut merah di ujung cakrawala, merapatkan senja pada malam dan menyanyikan sunyi sendirian. Dan akan selalu kukenang luka air mata dan bahagia bersama ke-62 kawanku, ketika mimpi baru dimulai dini hari dan berakhir saat malam sudah benar-benar pulang. Mengekalkan ingatan tentang semua masa yang pernah terlewati dengan haru biru.
Juni 1996. “ Selamat tinggal ” kataku ketika pamit. Hujan barangkali akan jadi saat terakhir yang kuingat. Melepas segala keindahan dan cahaya di sini. Segalanya nampak sama ketika akan kutinggalkan. Maka biarlah setiap kenangan yang akan menjagamu dari kesedihan. Darul Arqam selalu dalam ingatan, padamu rindu tak akan pernah tanggal…